Saturday, December 12, 2015

Memaki Ulama


Sebagian orang ada yang punya hobi unik. Membongkar aib, mencela, dan memaki para ulama, da’i, dan muballigh, seakan itu amal shalih tertinggi dan seolah untuk itu mereka dilahirkan. Mereka melakukan legitimasi dengan berdalih bahwa itu termasuk ghibah yang diperbolehkan sebagaimana yang dirinci oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Riyadhushshalihin. Padahal para ulama, da’i, dan muballigh yang mereka cela itu tidak memenuhi syarat sedikit pun untuk dighibahi tapi dengan takalluf (maksain) perbuatan ini menjadi halal baginya.

Ketika seorang ulama, da’i, dan muballigh, memiliki kesalahan –dan pastinya setiap manusia punya salah- mereka anggap itu adalah jarh (kritik-cacat) padanya yang membuatnya tidak boleh lagi didengar   kajiannya, perkataannya, dan apa pun yang berasal darinya, walau pun ada manusia lain memujinya (ta’dil). Mereka anggap, cacat yang ada pada da’i ini lebih dipertimbangkan dibanding pujian manusia baginya, apalagi jika pujian tersebut masih umum sementara pencacatan tentangnya lebih rinci dan banyak. Istilahnya al jarh al mufassar muqaddamun ‘alat ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih didahulukan dibanding pujian yang masih umum.

Sungguh jika gaya berpikir mereka dipakai, niscaya tidak ada satu pun di muka bumi ini baik ulama, da’i, ustadz, dan muballigh yang selamat dan kita bisa ambil ilmunya. Sebab, adakah manusia yang sama sekali tidak punya kesalahan, ketergelinciran, dan lalai? Maka, yang mereka lakukan bukanlah al jarh wat ta’dil tetapi ghibah (gunjing), namimah (adi domba), dan sibaabul muslim (mencela muslim), kesemuanya ini buruk dan berdosa.

Menghina ulama dan merendahkan mereka –yang mana itu adalah perbuatan haram- (berarti) telah menghina ilmu dan ahlinya, dan membuat orang umum meninggalkan upaya menuntut ilmu, dan menjauhi majelis para ulama, dan barang kali itu juga menuntun mereka untuk mengenyampingkan agama secara langsung. Wallahul Musta’an!

Nasihat Asy Syaikh Ibnu Baaz untuk orang-orang yang men-jarh (mecaci maki) para dai ternama.

“Telah tersebar pada masa sekarang ini, bahwa banyak pihak yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan da’wah pada kebaikan, mereka  menjatuhkan kehormatan saudara-saudara mereka para dai terkenal, mereka membincangkan kehormatan para penuntut ilmu, dai, dan penceramah, mereka melakukannya secara diam-diam di majelis-majelis mereka, barangkali mereka juga merekamnya di kaset-kaset yang disebarkan di tengah manusia, dan mereka telah melakukannya secara terang-terangan di ceramah-ceramah umum di masjid-masjid. Ini adalah perilaku yang bertentangan dengan apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan pada berbagai sisi, di antaranya:

Pertama. Bahwasanya  itu merupakan sikap aniaya terhadap  hak-hak manusia dari kaum muslimin, bahkan khususnya terhadap manusia  yang menuntut ilmu dan para da’i, orang-orang yang mempersembahkan segenap kemampuan mereka dalam menyadarkan manusia dan membimbingnya, membenahi aqidah.

Kedua. Hal itu merupakan memecah persatuan kaum muslimin dan merobek barisan mereka, padahal mereka sangat membutuhkan apa-apa yang bisa mendorong pada persatuan dan menjauh dari  bercerai berai, perpecahan.

Ketiga. Sesungguhnya perilaku ini terdapat dukungan dan pertolongan bagi  pihak-pihak yang menginginkannya dari kalangan sekuler, westernist, dan selain mereka dari golongan penentang agama, orang-orang yang dari mereka  tersebarkan fitnah para da’i dan kedustaan atas mereka serta menyemengatkan perlawanan mereka (terhadap para da’i) pada apa yang mereka tulis dan rekam. Bukanlah termasuk hak Ukhuwah Islamiyah dengan melemparkan celaan kepada mereka yang justru mempercepat musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka sendiri dari kalangan penuntut ilmu, da’i, dan selainnya.

Keempat. Pada hal itu dapat merusak hati secara umum dan khusus, dan membuat tersebar dan tersiarnya berbagai kebohongan dan berita-berita batil, dan menjadi sebab banyaknya ghibah dan namimah, dan membuka pintu-pintu keburukan bagi perlawanan mereka untuk melemahkan jiwa-jiwa orang-orang yang terus menerus menyebarkan syubhat dan  fitnah  yaitu  orang-orang yang sangat ingin menyakiti kaum beriman dengan tanpa susah payah.

Kelima. Sesungguhnya banyak membincangkan sesuatu yang tidak memiliki hakikat, itu adalah khayalan yang dibuat indah dan bagus oleh syetan untuk para pengikutnya, Allah Ta’ala telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. (QS. Al Hujurat : 12).

Seorang mu’min hendaknya menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang baik, sebagian salaf mengatakan: janganlah kau berprasangka buruk dengan perkataan yang keluar dari saudaramu, apadahal engkau menemukan adanya makna yang baik pada perkataannya.

KeenamApa-apa yang terdapat pada ijtihad sebagian  ulama dan penuntut ilmu pada perkara yang diperkenankan untuk berijtihad, maka janganlah dihalang-halangi dan jangan dicela jika dia seorang yang ahli dalam berijtihad. Jika pihak lain ada yang tidak sependapat dengannya dalam masalah itu maka sepantasnya diperdebatkan dengan cara yang terbaik, demi menginginkan sampainya kepada kebenaran dari jalan yang paling dekat dan untuk membendung was-was dari syetan yang menipu kaum beriman, lalu jika hal itu tidak mudah, dan salah seorang memandang bahwa harus ada penjelasan yang berlawanan, maka hendaknya hal itu dilakukan dengan kalimat yang paling baik dan petunjuk yang paling halus, tanpa menyerang, menyakiti, atau melampaui batas dalam  berkata-kata, maka dia telah mengajak kepada sanggahan  atau penolakan yang benar, tanpa usah menolak pribadi orangnya atau menuduh pada niatnya, atau menambah-nambah dengan perkataan yang  tidak ada sebabnya. Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda pada perkara-perkara semisal ini: “Ada apa kaum yang mengatakan begini begitu.” Wallahu A’lam