Orang yang banyak dan kontinyu dalam menyebut nama Allah adalah bagian dari wujud cinta (Mahabbah) kepada-Nya, sebab dikatakan apabila seseorang yang cinta terhadap sesuatu akan banyak menyebut-nyebutnya. Banyak berdzikir adalah dianjurkan sekali dan diisyaratkan sebagai jembatan yang utama untuk menghampiri-Nya. Salah satu tanda mahabbah adalah tergila-gila, demikian pula yang harus dicapai dalam dzikir (mengingat)-Nya. Dari Abu Sa’id al Khudri Ra. Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang mengatakan gila”. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, Hakim)
Dan juga Rasulullah SAW bersabda lewat riwayat dari Ibnu ’Abbas Ra.:
“Hendaklah kalian berdzikir sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang munafik menganggap kami ahli riya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)1
Orang yang berdzikir dengan melibatkan seluruh jiwa raganya berarti ia telah mengungkapkan mahabbah kepada-Nya. Apabila seseorang mencapai mahabbah yang sempurna maka ia akan menarik pecinta kepada yang dicinta. Sifat mahabbah yang sempurna ini dapat melenyapkan perilaku-perilaku yang dicegah bagi pecinta.
Ada kalanya seseorang mengalami jadzbah2, yaitu suatu tarikan Ilahiyah yang terjadi dalam dirinya. Kejadian tersebut diawali dengan adanya interaksi hati yang diungkapkan sebagai pernyataan-pernyataan hati. Hatinya menyampaikan kalimat-kalimat penegasan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan yang lazim (meski dasar penegasannya berdasarkan dalil yang Haq), tetapi hal demikian bagi orang lain yang melihatnya menganggap ia seperti ‘gila’.
Syekh Abu Sa’id al Kharraz mengatakan:
“Sesungguhnya Allah SWT men-jadzbah (menarik) ruhnya para Awliya’ kepada-Nya, merasakan nikmat dengan dzikir dan wushul (sampai) kepada-Nya, dan mempercepat kesenangan terhadap segala sesuatu pada badan-badan mereka. Kehidupan fisik jasmani mereka bagaikan kehidupan hewan. Sedangkan kehidupan ruhaniyahnya bagaikan dalam kehidupan Tuhan”.3
Perbandingan orang yang mengalami jadzbah dengan orang gila bisa dilustrasikan sebagai berikut: Ada dua orang yang sama-sama tertawa kegirangan, dengan menggerakkan tubuhnya ke sana kemari tak beraturan. Orang pertama kegirangan karena ia melihat televisi, dan menyaksikan tim sepakbola kesayangannya meraih kemenangan. Namun posisi televisi itu terletak di bawah tangga rumah sehingga tidak tampak terlihat dari luar ruangan. Dalam keadaan seperti itu, ada orang lain yang melihat orang tadi tertawa sendirian dan terbahak-bahak, menyangkanya gila, padahal orang itu sedang menonton televisi. Orang yang pertama adalah perumpamaan orang yang sedang jadzbah (majdzub), gila dengan sebab. Sedangkan orang kedua yang tertawa dan menggerakkan tubuhnya tanpa sebab apapun, disebut sebagi orang yang gila sebenarnya.4
Di antara sebab-sebab kondisi majdzub itu terjadi adalah karena ia tidak mampu mengkondisikan atau melakukan adab-adab dzikir yang sesungguhnya. Maka ketika tarikan Ilahiyah itu datang ia segera melepaskan dirinya begitu saja, sehingga ia larut dalam keasyikan dzikirnya. Keadaan inilah yang kemudian tidak mampu ia kendalikan, Kondisi tarikan semacam ini sebenarnya sebagaimana tarikan-tarikan yang timbul dari suatu dakwah / ajakan yang mempengaruhi dirinya, serta merta ia mengikuti saja tanpa berusaha bertahan dan menyikapinya dengan daya kontrol yang optimal.
Tarikan Nur Ilahi itu berusaha mencari tempat dalam dirinya, mendesak pernik-pernik kebatilan yang sudah ada dalam jiwanya, maka tampaklah gejolak batin itu melampiaskan benturan-benturan jiwa yang sedang terjadi. Ibarat cahaya yang berusaha menembus ruangan gelap, yang pada akhirnya ruangan yang gelap itu seluruhnya tertelan oleh cahaya IIahi yang masuk ke dalamnya, baik diusahakan maupun di luar kehendak dirinya.
Pertarungan khatir atau bisikan-bisikan yang datang dan pergi dalam dirinya menyebabkan adanya dua pilihan yang harus ia lakukan, membiarkan atau melawannya. Kalau ia biarkan maka dorongan Ilahiyah itu akan terus menghantui setiap gerak langkahnya kemanapun ia pergi, apabila hal ini ia pertahankan akan menyebabkan ketidakseimbangan ruang gerak kehidupan normalnya. Kalau ia melawannya, berarti ia akan kembali kepada posisi sediakala. Kondisi jadzbah ini bisa kembali normal jika orang yang mengalaminya mempunyai fisik yang sehat, tidak seperti orang yang berfisik lemah yang pengembalian kondisi kepada posisi yang normal membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang lebih parah sebenarnya bila seorang majdzub ini tidak mempunyai Guru Mursyid yang jelas, sehingga apa yang dilakukannya adalah berdasarkan kehendak atau selera dirinya. Hal ini akan sulit diubah menjadi keadaan yang lebih baik.
Pergulatan orang yang mengalami jadzbah sesungguhnya medan jihad akbar bagi dirinya, namun orang lain tidak mengetahuinya. Apabila ia wafat dalam jihadnya tersebut maka ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah (Ridha Allah), jika dalam bimbingan seorang Mursyid, karena konsistennya ingin senantiasa dekat dengan Allah Ta’ala.
Jalan yang preventif dalam masalah ini adalah mendahulukan (mengutamakan) adab-adab syari’at mengetahui kaidah-kaidah dalam beribadah/dzikir pada dirinya agar terjadi suatu keseimbangan antara jasmani dan ruhani, terutama bagi orang yang baru menapaki (salik) di atas jalan dzikir.
Pada saat terjadinya suatu tarikan Ilahiyah itulah seakan-akan ia melakukan perlawanan, di antaranya munculnya semacam bisikan (khatir) hati atau telinganya untuk melakukan perilaku-perilaku yang berada di luar syari’at. Ketika tahalli5 dan takhalli6-nya belum sempurna proses tajalli menyebabkan ia mabuk, dan mengalami ketidakseimbangan pada dirinya.
Perumpamaan seperti Al Hallaj, Syekh Siti Jenar, dan lainnya adalah orang-orang yang tidak mampu mengendalikan syari’atnya ketika ekstase, karena keadaan mereka lebih dominan mengedepankan adab hakikat. Di antara mereka banyak mengklaim mengalami suasana Wahdatul Wujud7 (kebersatuan dengan Tuhan). Para Shufi yang mengalami keadaan seperti mereka berdua amal ibadahnya, yakni dzikir atau saliknya hanya berfungsi atau memberi manfaat bagi dirinya sendiri, tidak sebagaimana para Nabi dan para Mursyidun, yang bersifat Tabligh (setelah menerapkan Quu Anfusakum wa Ahliikum Naaroo bagi dirinya). Para pemimpin umat di setiap masa biasanya selalu mengedepankan keseimbangan adab syari’at dan hakikat.
Orang yang mengalami ekstase (Fana) seperti ini berbeda dengan gila pada umumnya. Yang membedakannya adalah:
GILA (MAJDZUB)
· Dapat diajak komunikasi dengan teratur
· Bisa sembuh, dan tidak menampakkan bekas
· Jika ia memperoleh proses tajalli dengan waktu yang lama, ia akan mencapai makrifat yang benar, dengan syarat dibimbing oleh seorang Mursyid
· Dalam proses tajalli ini, seorang majdzub dalam naungan Ridha Allah SWT
GILA DUNIA
· Tidak dapat diajak bicara dengan benar (ngawur) · Kelihatan bekas-bekas kegilaannya · Hanya ingin memperturutkan hawa nafsunya saja, kehidupannya seperti hewan karena sudah kehilangan akal yang berarti hilang ruh Ilahiyah dalam dirinya. · Kehidupannya tak ubahnya seperti manusia biasa yang mengikuti kebiasaan-kebiasaannya sebelum ia gila.
Kedua ahwal jadzbah tersebut tidak dibebani hukum syari’at (mukallaf) atasnya, dan juga tidak pantas mengemban suatu bentuk kepemimpinan, karena dominasi akal telah hilang dalam dirinya.
Selain itu semua ada pula yang memiliki jiwa yang kuat dalam proses tajalli-nya, sehingga ia tidak menampakkan gejolak-gejolak yang dapat berbenturan dengan iklim kehidupan natural (alami). Ia mampu menciptakan keseimbangan karena peristiwa berupa ekstase itu dapat ia kendalikan, dan hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja, seperti: histeris ketika dibacakan ayat-ayat Al Quran yang menyentuh jiwanya.
Orang-orang utama seperti para Nabi, Mursyidun8 juga mengalami jadzbah berupa kehadiran ruh-ruh Ilahi, namun hal demikian tidak tampak secara nyata (lahir). Hal ini disadari ketika ia berkata-kata atau menyampaikan hukum-hukum Ilahi di luar kemampuan dirinya yang sebenarnya. Bekas-bekas kejadian tersebut begitu nyata dialami oleh para Mursyidun sebagaimana yang dialami oleh para Nabi sesudah menerima wahyu, misalnya keringat membasahi sekujur tubuhnya, rasa lelah seakan mendapat beban yang berat, dsb. Ciri-ciri komunikasi Ilahiyah ini tidak seperti orang kebanyakan di kalangan ahli-ahli kegaiban umum (supra natural), apalagi terjadi di setiap saat. Karena peristiwa llahiyah semisal mukjizat saja terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menandakan komunikasi ini begitu tinggi nilainya dan tidak sembarang orang memunculkan dengan keinginannya sendiri.
1 Tersebut pula di dalam kitab Tafsir Durrul Mantsur, karangan Syekh Jalaluddin as Suyuthi.
2 Orang yang mengalaminya disebut majdzub.
3 In’amuzzahidin Mashudi, MA.,Wali Sufi Gila, Ar-Ruzz, Cet I, hal 40.
4 Ibid., hal. 41
5 Tahalli artinya mengisi jiwa dengan perilaku-perilaku positif (mahmudah).
6 Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari perilaku-perilaku negatif (madzmumah).
7 Ragam istilah ini banyak sekali, misalnya Manunggaling Kawula Gusti, Hulul, dsb.
8 Para Guru-guru Shufi.
0 comments:
Post a Comment