A. Riwayat Hidup
Syamsuddin as-Sumatrani adalah salah satu sasaran dalam gerakan pemberantasan aliran wujudiyah di Aceh pada abad ke-17. Ia, bersama dengan Hamzah Fansuri, dicap sebagai kaum zindiq oleh mufti besar Kesultanan Aceh kala itu, Nuruddin al-Raniri. Begitu hebatnya pemberantasan ini hingga menjadi salah satu cerita klasik dalam sejarah kesusastraan Melayu tradisional.
Syeh Syamsuddin as-Sumatrani bernama asli Syamsuddin bin Abdullah. Ia berasal dari Pasai, Aceh, sehingga ia sering pula disebut Syamsuddin dari Pasai (lihat, misalnya, Braginsky, 1998: 469). Menurut kitab Bustan as-Salatin karangan Nuruddin a-Raniri, ia lahir pada pertengahan abad dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1630, bertepatan dengan hari Senin, 12 Rajab 1038 H (Piah dkk., 2002: 59).
Tidak banyak yang dapat diketahui tentang riwayat hidup pribadi Syamsuddin Liaw Yock Fang, 1975:191). Tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa Syamsuddin belajar kepada Hamzah Fansuri dan juga Sunan Bonang (Piah dkk., 2002: 59). Ia juga fasih dalam berbahasa Melayu, Jawa, Persia, dan Arab. Pengetahuannya dalam mistisisme, hukum, sejarah, filsafat, dan teologi sangat luas. Berkat kecendekiaannya itu, Syamsuddin dipercaya untuk menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1606-1636), yaitu Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Imam Masjid Bait al-Rahman.
Pada saat Syeh Syamsuddin masih hidup, doktrin wujudiyah diterima dan bahkan disebarkan secara luas di Aceh dan daerah-daerah lain. Bahkan, karena besarnya pengaruh doktrin itu, Nuruddin al-Raniri yang mewakili golongan ortodoks tidak bersedia menghadapi Syamsuddin secara frontal dan memilih untuk menyingkir ke Semenanjung Melaka (Piah dkk., 2002: 60).Kepribadian Syamsuddin as-Sumatrani cukup berbeda dari gurunya. Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang emosional karena, walaupun pengetahuannya yang ditimbanya dair buku-buku memang sangat luas, tetapi ia terutama berpegang pada pengalaman batin sendiri. Sedangkan Syamsuddin adalah seorang penuntut hakikat yang “tidak begitu emosional tetapi rasional” (Braginsky, 1998: 469).
Sesudah Syamsuddin meninggal, al-Raniri menduduki semua jabatan yang ditinggalkannya. Dengan kekuasaannya sebagai pejabat keagamaan dan pemerintahan Aceh, dan juga dukungan dari Sultan Iskandar Tani yang saat itu berkuasa, al-Raniri memerintahkan pemberantasan gerakan wujudiyah dan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri dan Syeh Syamsuddin as-Sumatrani. Hanya sedikit karya Syamsuddin yang selamat dari api pembakaran.
B. Pemikiran
Syamsuddin as-Sumatrani sering ditempatkan pada barisan yang sama dengan Hamzah Fansuri, yaitu sebagai penganjur aliran wujudiyah. Seperti juga Hamzah Fansuri, Syamsuddin mula-mula mendalami soal keesaan Wujud, asal- usul yang banyak dari yang esa, dan soal manusia sempurna atau insan kamil. Dalam karya-karyanya, Syamsuddin memang mengajukan pemahaman tentang Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna dan Yang Maha Mutlak. Maka kesempurnaan Tuhan itu mencakup segala sesuatu termasuk seluruh alam dan manusia di dalamnya.
Dalam soal praktis ia terutama mencurahkan banyak perhatian pada ajaran tentang zikir, atau melafazkan terus menerus pengakuan tauhid dan Nama-nama Allah, yang akan mengantar manusia pada pemandangan atau musyahadah langsung terhadap Hakikat Yang Tertinggi (Nieuwenhuije & Mohd. Shaghir Abdullah dalam Braginsky, 1998: 470).
Sumber-sumber metafisika dan onotologi Syamsuddin dapat ditemukan dalam karya-karya Ibnu al-Arabi dan al-Jill. Tetapi perbedaan dua sufi ini justru terdapat dalam ajaran mereka masing-masing tentang manifestasi Yang Mutlak. Menurut Hamzah, sesudah lima manifestasi pokok (martabat-martabat pernyataan yang Mutlak atau ta`ayyun) yang turun satu demi satu dari Zat Allah yang sama sekali transenden, tidak ternyatakan dan terkognisi, menyusul martabat terendah yang tidak terbilang banyaknya (Attas dalam Braginsky, 1998: 470). Sedangkan menurut Syamsuddin, sistem Wujud terdiri dari tujuh martabat atau tingkatan. Karenanya sistem itu biasa disebut sebagai Martabat Tujuh.
Beberapa jalan untuk menuju kepada Tuhan itu disimpulkan oleh Syamsuddin dalam konsep wujudiyah yang disebutnya sebagai Wujud dan Martabat Tujuh. Dalam konsep ini, tiga konsep yang utama, yaitu ahadiyyah (ketunggalan atau keesaan yang belum dinyatakan atau tidak dapat dikenali), wahdah (keesaan sintetik dari istidad-istidad atau potensi-potensi Wujud) dan wahidiyah (ketunggalan analitik dari istidad-istidad Wujud, atau Wujud yang tunggal dan sekaligus beranekaragam). Tiga martabat ini bersifat qadim dan baqa (kekal).
Sementara itu martabat yang empat, yaitu alam arwah, alam amthal, alam ajsam, dan alam insan adalah bayang-bayang Tuhan semata. Walaupun demikian, menurut Syamsuddin, bayang-bayang dan yang empunya itu sebenarnya adalah satu. Tegasnya, manusia dan Tuhan termasuk dalam satu kesatuan yang di dalamnya terangkum alam dan segala makhluknya. Untuk itu ungkapan yang sering digunakan oleh Syamsuddin as-Sumatrani adalah “Tiada wujudku hanya wujud Allah” (Wasim dalam Piah dkk., 2006: 471).
Uraian tentang Martabat Tujuh itu terdapat dalam syair karya Syamsuddin yang berjudul Syair Martabat Tujuh. Pada dasarnya, syair ini merupakan kitab mistik yang berima dan berirama. Tetapi, iramanya di sana-sini terlalu kacau sehingga tidak bisa menampung rumusan filsafah yang terlalu berat (Parnickel via Braginsky, 1998: 489). Alasan Syamsuddin menulis kitab dalam bentuk syair adalah agar mudah dipahami dan mudah dihapal.
Dari uraiannya tentang Martabat Tujuh, terlihat perbedaan antara Syamsuddin dengan gurunya. Bila Hamzah Fansuri mengutamakan pengalaman batin, Syamsuddin lebih cenderung pada cara pemikiran filsafat yang ketat dan terkadang kering (Braginsky, 1998: 469). Pengalaman mistik memang tidak asing bagi Syamsuddin, namun karya-karyanya lebih cenderung menunjukkan dirinya sebagai ahli ilmu tasawuf, yang terutama berpegang pada pertimbangan logis dan sistematis.
Walaupun yang dominan di dalam karangan Syamsuddin adalah pemikiran yang bergaya ilmiah, namun di dalamnya juga terdapat citra simbolis dan perumpamaan. Salah satunya adalah persamaan beberapa bagian mata manusia dengan alam-alam dalam ontologi sufi: putih mata dengan alam nasut, lingkungan hitam di sekeliling selaput pelangi dengan alam malakut, selaput pelangit itu sendiri dengan alam jabarut, dan “mata hitam yang bernama basr” (anak mata) dengan alam lahut (Braginsky, 1998: 469).
Selain itu, mengikuti simbolisme yang sering digunakan dalam syair-syair kaum sufi, Syamsuddin juga mengumpamakan tubuh manusia dengan kapal, yang terlihat dalam Syair Perahu I yang beraksara Rencong dan kemungkinan besar juga ditulisnya (walaupun ia tidak menulis seluruh syair itu secara sendirian):
“...Yogya kamu ketahui asalnya perahu itu,
Asalnya kayu....
Kayu itulah terlalu tinggi,
Sungguh pun besar asalnya biji,
Buahnya lengkap tiada tersembunyi,
Sesungguhnya lengkap tiada terdinding.
Perahumu itu bernama Bentara,
Asalnya tumbuh di padang belantara
Asalnya kayu....
Kayu itulah terlalu tinggi,
Sungguh pun besar asalnya biji,
Buahnya lengkap tiada tersembunyi,
Sesungguhnya lengkap tiada terdinding.
Perahumu itu bernama Bentara,
Asalnya tumbuh di padang belantara
(Braginsky dalam Braginsky, 1998: 498-499)
Citraan simbolis yang lain, yang masih memperlihatkan asosiasi dengan kosakata maritim, juga tampak dalam Syair Martabat Tujuh:
Heninglah laut semata-mata,
Hapuslah sekalian rupa yang nyata,
Pendeklah sini sekalian kata,
Isyarat pun habis daripada cita
Hapuslah sekalian rupa yang nyata,
Pendeklah sini sekalian kata,
Isyarat pun habis daripada cita
(Braginsky dalam Braginsky, 1998: 490)
C. Karya
Karena dibakar menurut perintah Nuruddin al-Raniri, tidak banyak banyak karya Syamsuddin as-Sumatrani yang tersisa, di antaranya adalah:
- Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Tafsir atas syair-syair Hamzah Fansuri)
- Mir`at al-Haqiqat (Cermin Hakikat)
- Jawahir al-Haqaiq (Permata Kebenaran)
- Mir`at al-Mukminun (Cermin Orang Mukmin)
- Mir`at al-Iman (Cermin Iman)
- Syarah Mi`ratul Qulb (Uraian untuk Cermin bagi Hati)
- Kitab al-Martabat
- Kitab al-Harakat (Kitab tentang Gerakan)
D. Pengaruh
Berkat susunannya yang logis, konsekuen dan jelas, maka sistem Martabat Tujuh kemudian menjadi dasar teori dan praktek sufi masyarakat Melayu selama masa satu setengah abad berikutnya Braginsky, 1998: 471).
Syamsuddin selalu menekankan sifat esoterik ilmu yang diuraikannya. Ia juga menekankan betapa sukarnya menempuh Perjalanan Sufi, sehingga tidak mungkin dilakukan tanpa guru yang kamil dan berpengalaman. Tasawuf di dunia Melaui, termasuk Aceh, tersebar pada abad-abad ke-17 sampai ke-18, dalam suasana ketika masih kuatnya pengaruh tanggapan-tanggapan lama syamanisme dan yoga Tantrisme yang menyerap unsur-unsur kepercayaan setempat (Brakel dalam Braginsky, 1998: 471). Hal ini menjadi sebab timbulnya penyelewengan terhadap ajaran Syamsuddin dan Hamzah fansuri di kalangan para pengikut mereka.
Yang paling sukar dipahami adalah konsep tentang saling hubungan antara Khalik dengan makhluk-Nya, Allah dengan alam. Hal ini tampak dalam pembedaan yang sangat halus antara “diri wahmi (atau jasmani)” dengan “diri hakiki (atau rohani)”, yaitu semacam “partikel” Ruh Yang Esa di dalam manusia. Untuk memahami pembedaan itu, diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang sistem peristilahan. Akibatnya timbul pandangan awam wujudiyah, yang bersifat panteistis dan dangkal.
Kedangkalan itu terlihat dalam risalah sufi tanpa judul berikut ini: “Maka barangsiapa mengetahui perkataan yang tersebut ini, niscaya diketahuinyalah datangnya daripada Allah dan kembalinya pun kepada-Nya, dan niscaya dikenalinyalah wujud dirinya yang zahir ini tiada lain daripada Wujud Allah yang tetap dengan dia sifat ilmu itu. Maka sifat ilmu-Nya itu tetap dengan dia maklum-Nya yang di dalam ilmu-Nya itu. Maka sifatnya yang zahir ini pun tiada lain daripada sifatnya yang batin itu, dan fi`ilnya yang zahir ini pun tiada lain daripada fi`ilnya yang batin itu, karena yang zahir itu pun menyatakan sifatnya yang batin itu jua. Jika demikian, bahwasanya sewujudlah baginya dan sesifatlah ia dan sefi`ilnya ia dengan Allah SWT (John & Attas dalam Braginsky, 1998: 471).
Tentu saja baik Hamzah Fansuri maupun Syamsuddin as-Sumatrani tidak pernah mengajarkan, bahwa manifestasi wujud internal (batin) melalui wujud eksternal (zahir) berarti kesamaan mutlak antara kedua-duanya itu.
(An. Ismanto/tkh/04/05-09)
Sumber:
- Braginsky, K.I., 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
- Harun Mat Piah, dkk., 2002. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
- Liaw Yock Fang, 1975. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapora: Pustaka Nasional Singapura
0 comments:
Post a Comment