Friday, September 19, 2014

Mengubah Tradisi Orang Kafir Menjadi Syiar Islam

Mengubah Tradisi Orang Kafir jadi Satu Tradisi Islam bukan berarti Tasyabbuh atau Bid’ah. Bisa jadi itu adalah Syiar Islam. Ini Nabi lakukan dgn mengubah Puasa Asyura yang biasa dilakukan kaum kafir jadi Puasa Sunnah. Begitu pula dengan mengelilingi Ka’bah yang biasa dilakukan orang kafir dengan Thawaf:

“Orang2 Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147 Muslim 2/792, dll)
“Nabi tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari asyura. Beliau bertanya:”Apa ini?” Mereka menjawab:”Sebuah hari yg baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.
Maka beliau (rasulullah) menjawab:”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HSR Bukhari 4/244, 6/429)
Jadi terhadap tradisi 7 Hari atau pun Maulid, jangan kita menuduhnya Bid’ah. Itu adalah satu Syiar Islam sehingga orang2 yang tidak biasa mengaji pun bisa diberi ceramah soal Islam.
Apakah kita bisa seenaknya membuat bid’ah? Tidak juga.
Kita harus paham bahwa tradisi 7 hari atau pun Maulid itu bukan ibadah qoth’i yang jelas rukun-rukunnya seperti sholat atau pun puasa. Boleh dikata, itu bukan ibadah. Tapi muamalah. Jadi tak bisa dikatakan bid’ah.
Menjenguk orang sakit atau pun melayat orang yang meninggal dan keluarganya itu ada dalilnya. Begitu pula menyambung silaturahmi itu ada perintahnya. Jadi kita tak bisa menganggap tradisi 7 hari sebagai bid’ah dan melarangnya.
Tanpa kebijakan Wali Songo yg mengubah tradisi rakyat Indonesia 7 hari yg diubah jadi tahlilan/syiar Islam dgn mengucapkan 2 kalimat syahadat, bisa jadi rakyat Indonesia masih beragama Hindu sampai sekarang karena tak ada Syiar Islam yang dilakukan….
Memperingati kelahiran Nabi dengan Maulid Nabi juga bukan bid’ah karena itu bukan ibadah. Tapi muamalah. Nabi sendiri pernah memperingati hari kelahirannya, yaitu dengan berpuasa di hari Senin (puasa Senin Kamis) karena beliau lahir hari senin.
Lalu kenapa kita tidak puasa hari Senin saja seperti Nabi untuk memperingati hari lahir Nabi? Itu bisa dilakukan dan sebagian Muslim memang mengerjakan puasa Senin Kamis. Namun jika mengadakan acara Maulid Nabi juga tidak bisa itu dikatakan bid’ah karena itu bukan ibadah. Tapi Muamalah.
Sultan Salahuddin Al Ayyubi dan mayoritas ulama Islam di seluruh dunia sepakat merayakan Maulid Nabi. Mereka mengisinya dengan Syiar Islam dan pembacaan sejarah perjuangan Nabi mulai dari lahir hingga wafatnya. Dengan cara itu, ummat Islam mengenal Nabi Muhammad dan bangkit semangat juangnya sehingga bisa mengalahkan pasukan Salib.
Para sahabat sempat enggan melakukan sya’i di Shafa dan Marwa karena takut berdosa mengingat Shafa dan Marwa adalah bekas tempat berhala dan orang-orang kafir dulu biasa Sya’i di situ. Mereka takut tasyabbuh/meniru kebiasaan orang kafir. Namun itu adalah 1 Syiar Islam sehingga Allah menurunkan ayat di bawah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 158]
‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas berkata: “Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa’i dalam Islam (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari ‘Ashim bin Sulaiman.)
Ibnu Abbas menerangkan bahwa syaitan-syaitan di jaman Jahiliyyah berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah. Dan di antara kedua tempat itu terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang, berkatalah kaum Muslimn kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah kami tidak akan berthawaf antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu biasa kami lakukan di jaman Jahiliyyah.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158). (Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Apa itu tidak tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir? Tidak! Beda! Karena jika kaum kafir mereka menyembah berhala, sementara Islam menyembah Allah. Itu adalah perbedaan yang besar.
Kaum Nasrani punya Kalender/Penanggalan Masehi. Saat para sahabat membuat Kalender Hijriyah, itu bukan tasyabbuh yang diharamkan. Tapi memang untuk mempermudah kehidupan.
Kalau kita baca hadits tentang asal muasal azan juga begitu. Panggilan ibadah untuk umum sudah dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi. Jika ummat Islam melakukan panggilan ibadah juga, itu bukan tasyabbuh. Karena tetap ada perbedaannya. Kaum Nasrani memakai lonceng, kaum Yahudi dengan terompet, sementara ummat Islam dengan azan:
Ibnu Umar berkata, “Ketika kaum muslimin datang di Madinah, mereka berkumpul. Lalu, mereka menentukan waktu shalat, sedang belum ada panggilan untuk shalat (azan). Pada suatu hari mereka memperbincangkan hal itu. Sebagian dari mereka berkata, ‘Ambillah lonceng seperti lonceng (gereja) orang-orang Kristen.’ Sebagian mereka berkata, ‘Bahkan, terompet saja seperti terompet orang-orang Yahudi.’ Umar berkata, ‘Apakah kalian tidak mengutus seorang laki-laki yang memanggil untuk shalat? Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Bilal, berdirilah, panggilah (azanlah) untuk shalat!'” [HR Bukhari]

0 comments:

Post a Comment