Ahlul Bayt yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah para keturunan Rasulullah dari keturunan anak beliau Sayyidah Fatimah, Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasanya mereka diberi gelar dengan Maulana, Habib, Syarief dan lainnya.
Para
peneliti telah membuktikan bahwa Ahlul Bayt memiliki peran yang sangat penting
dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama
setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia
Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan
keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi.
Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas,
memiliki kemampuan menggalang pengikut
setia, memobilisasi dana serta kecakapan
adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para
raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal
masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para
keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau :
”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada
keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah
(al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”.[1]
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu
lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari
langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah
satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana
kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah
sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat
dalam strata masyarakat di Nusantara.[2]
Menurut
penelitian Snouck[3], para
keturunan Rasulullah yang dipanggil sayyid, syarief atau habib memiliki
kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam.
Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan
terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan.
Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin
oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul
Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para sayyid dan habib
sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam
dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh
Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib
Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual
Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi
mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti
dan faham akan ajaran agama.[4]
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh,
baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya,
hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya.
Para Maulana dan Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan
spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi,
sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan
kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Ahlul
Bayt dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief
Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan
kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan
dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di
Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa
orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Banda Aceh, kecuali
hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan
meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.[1]
Dari
waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh
untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan
ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal
keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau
qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu,
bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh
Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan
Aceh. Dalam rombongan tersebut turun juga Fakir Muhammad dari India.[2]
Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan
Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief
Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk
mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan
pemahaman agama yang toleran dan moderat.[3]
Pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641)
telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik
masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin
Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Tengku Chik Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan
masyarakat Aceh yang maqamnya di
Peulangkahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para habib, syarif
ataupun sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama
dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya
masyarakat. [4]
[1] Dalam hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari, disebutkan hanya Kitab Allah dan Sunnahku. Namun
banyak yang meriwayatkan dengan bunyi di atas, seperti riwayat dari Imam Muslim
dan yang lainnya.
[4] ibid
_____________________________________
[1] Lihat misalnya : A.K. Dasgupta, Aceh in Indonesia Trade and Politic 1600-1641. Disertasi, Cornell Univ. 1962
[2] TD. Situmorang, op.cit., hlm. 59-61
[3] Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hlm. 32-34. A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia , Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19. hlm. 45
[4] Lihat : Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981).
0 comments:
Post a Comment