Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada Maulana
Fadhilah Khan Al-Pasee yang telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari
penjajah Portugis pada bulan juni 1527. Setelah direbutnya kota
itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota Kemenangan (al-Fath), yang sekarang dikenal dengan Jakarta
ibukota negara Indonesia .
Sementara penjajah Portugis mengenalnya dengan nama Falatehan. Pribadinya yang memikat, cerdas, alim dan pemberani
telah menjadikannya sebagai tokoh legendaris di Asia Tenggara.
Sampai-sampai
orang Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda
Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada masa Sultan Mahmud Syah yang memerintah kesultanan
Malaka pada tahun 1488-1511 yang menjabat sebagai Panglima Pengawal Selat
Malaka.
Maulana
Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1471, itulah sebabnya
beliau bergelar Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat sebagai
Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai. Beliau lahir dari lingkungan kerabat
istana Kerajaan Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah seorang
Petinggi Pasai, Ulama dan Maulana yang terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan
Ibrahim yang hidup pada masa pemerintahan Ratu Nahrishah (1424) sampai Sultan
Mudzafar Syah (1497).
Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini terkenal sebagai
penterjemah kitab Durrul Manzum, karya
Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan kepada Sultan Malaka Sultan Mansyur Syah
dan meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah (wafat 1497) menerjemahkan
kitab tersebut. Tugas ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai Makhdum Patakan
Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah. Sementara Makhdum Patakan adalah cucu dari Maulana
Sayyid Hussein Jamadil Kubra.
Secara
lengkap silsilah beliau adalah: Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah) bin Maulana
Makhdum Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam Baraqat Syekh Maulana
Ismail bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan seterusnya
yang bersambung sampai dengan Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra, cucu Nabi
Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah keluarga satu buyut dari
Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati).
Maulana
Fadhilah hidup dan berkembang di penghujung masa kegemilangan Kerajaan Pasai
dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan menjadi penaung bagi
kerajaan-kerajaan Islam yang baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di
bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang menjadi rujukan utama kaum Muslimin
dan sebagai pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem zawiyah yang
kemudian di tanah Jawa di kenal dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah
adalah anak seorang Maulana terkemuka Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim Patakan,
maka wajarlah jika ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama kelak. Namun
Sang Pangeran lebih cendrung tumbuh sebagai seorang panglima gagah perkasa.
Setelah
beranjak dewasa, Maulana Fadhilah hilir mudik berlayar dari Pasai ke Malaka. Ketenaran ayahandanya di
Malaka sebagai Ulama besar Pasai telah menempatkannya di dalam lingkungan
istana Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran Pasai muda ini dengan gagah perkasa
memperlihatkan kepiawaiannya sebagai pendekar ulung yang mampu menggerakan Jong
(perahu layar) dan dengan lincah memburu setiap perompak yang mengacau di Selat
Malaka. Maka tak mengherankan bila banyak para petinggi kerajaan, baik Pasai
ataupun Malaka merasa hormat dan segan kepada Pangeran Pasai ini.
Pada
usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6 diangkat menjadi Hulubalang Malaka oleh
Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana Fadhilah Sang Pangeran
Pasai ini mendapat gelar Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat Malaka.
Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar pernah memberikan hadiah khusus kepada
Hang Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-kapal dagang Cina dari
perompak di selatan Selat Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai Laksamana Hang Tuah, Fadhilah
berhenti tahun 1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali ke Pasai tanah
kelahirannya.
Sekembalinya
di Pasai, Sang Pangeran memperdalam pengetahuan keislaman kepada para Ulama,
Maulana dan Auliya yang mendapat tempat terhormat di Kerajaan Pasai. Kecerdasan
dan ketekunan yang didukung oleh garis keturunan (genetik unggul) telah
mengantarkan Sang Pangeran sebagai seorang Maulana terkemuka di Pasai dengan
kedudukan tinggi.
Disebutkan ketika pasukan
gabungan Islam pimpinan Pati Unus (Adipati bin Yunus atau Maulana Abdul Qadir)
menyerang Malaka pada tahun 1513 yang sudah dikuasai Portugis sejak 1511,
Maulana Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang Panglima perang. Kegagalan
mengalahkan Portugis pada ekspedisi Jihad I ini telah membulatkan tekad Sang
Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat menguasai teknologi perang. Karena
Portugis memiliki teknologi perang yang canggih sehingga gabungan angkatan
Islam kalah.
Pasai tidak cukup
baginya, dan atas dukungan Sultan dan para Ulama Pasai, sekitar tahun 1516
beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke Gujarat India, tempat asal usul
moyangnya, Maulana Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang menjadi Petinggi
Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau mendapat gelar sebagai Maulana Fadhilah
Khan. Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju pusat-pusat ilmu Islam dan
teknologi seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Baghdad ,
Samarkand dan
Turki. Di Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan, terutama pembuatan
meriam.
Sang Pangeran dalam
perjalanan belajarnya, diriwayatkan pernah ikut berperang bersama pasukan Turki
sebagai salah seorang Panglima untuk menduduki Konstantinopel. Setelah
pasukannya berhasil menduduki Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul,
nama beliau sangat terkenal. Beliau diundang pulang untuk bergabung untuk
membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa. Maulana Fadhilah diundang para
pemimpin Wali Songo yang masih paman-pamannya sendiri agar bisa membawa para
ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak dalam menghadapi
Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki
tekhnologi pembuatan meriam.
Setelah 5 tahun belajar
ke penjuru dunia, Maulana Fadhilah Khan pulang ke Pasai pada tahun 1521. Namun
pada saat itu peperangan tengah berkecamuk yang dipicu oleh ambisi penjajah
Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh di Pasai dan langsung ke
Palembang-Bengkulu sebagai pusat baru perlawanan kaum muslimin di sebelah
timur. Sementara di barat berpusat pada Kerajaan Aceh Darussalam yang baru
diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun 1514. Selanjutnya
Maulana Fadhilah melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat pamannya yang
sudah menjadi Pemimpin Spiritual (Aulia) Kerajaan Islam Demak-Cirebon-Banten
bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, sebagai mana yang diungkapkan dalam buku catatan pelayaran Achmad
Ghulam Khaan yang ditulis tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis ulang oleh
Musthafa Khaan, India 1973.
Kedatangan
Maulana Fadhilah Khan Pangeran Pasai ke tanah Jawa disambut gembira oleh armada
gabungan tentara Islam yang tengah mempersiapkan ekspedisi Jihad II untuk
membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang dipimpin langsung oleh Sultan II
Kerajaan Demak, Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin tertinggi
spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah Khan Al-Pasee sebagai Wakil Panglima
angkatan perang gabungan Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Palembang, Pasai,
Malaka, Aceh dan lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak Jawa dengan
kekuatan 375 kapal perang. Pada kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan
dianugrahi gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan Banten dan Wong
Ageng Pasai dari Kerajaan Demak.
Ternyata ekspedisi Jihad II
mengalami kekalahan telak setelah berperang 3 hari 3 malam, Sultan Demak II
Pati Unus bersama 2 putranya syahid di Malaka. Komando tertinggi diambil alih
Maulana Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur kembali ke tanah Jawa.
Kekalahan ini telah memberi pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai Fadhullah
Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada Gabungan kembali ke tanah Jawa,
beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam
Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau,
Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan. Beliau menetap di
Kerajaan Cirebon -Banten
bersama dengan sisa-sisa pasukan perangnya untuk mengatur kembali strategi
mengalahkan Portugis. Beliau ditugaskan mertuanya Maulana Syarif Hidayatullah
memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten dalam
menghadapi Kerajaan Hindu Pakuan-Galuh-Pajajaran.
Kegagalan ekspedisi Jihad II di
Malaka 1521 membuat kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, terutama
Demak-Cirebon-Banten mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk
datang menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba jua
setelah Kerajaan Hindu Galuh berkoalisi dengan penjajah Portugis. Bulan Juni
1527, Portugis yang telah merasa diatas angin mencoba menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa di wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan yang matang, gabungan
armada Islam dibawah pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai, Wong Ageng
Pasai langsung meluluhlantakkan penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan
antek-anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam, Maulana Fadhullah Khan
atau Tubagus Pasai diberi gelar baru Fatahillah,
yang berarti Kemenangan Allah SWT. Kemenangan besar ini kemudian dirayakan
sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut Jakarta sampai sekarang (22 Juni 1527).
Setelah kemenangan ini Maulana
Fadhullah Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai atau Fatahillah diangkat Sunan
Gunung Jati sebagai Penasehat Agung Kesultanan Cirebon-Banten yang kini tengah
berusia mendekati 60 tahun. Kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah
Khan, anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) yang bergelar Tubagus
Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke diserahkan kepada putra beliau Pangeran
Jayakarta yang kemudian pada 1619 karena kalah dalam konflik dengan VOC-Belanda,
meninggalkan Jayakarta yang dibumihanguskan.
Akhir
perjalanan panjang hidup Sang Pangeran Pasai yang gagah dan berani ini,
sepanjang 40 tahun lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam sebagai da'i,
pembimbing spiritual dan menjadi ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa Barat. Beliau sangat
terkenal sebagai seorang Maulana yang menguasai ajaran-ajaran tasawwuf, namun
beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif Hidayatullah menaklukkan
kerajaan-kerajaan Hindu yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan
pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan Islam. Demikian pula
bersama dengan Syarif Hidayatullah,
Maulana Fadhilah Khan Tubagus Pasai ikut andil menaklukkan Kerajaan
Sunda-Pakuan di wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568, atau dua tahun
sebelum beliau wafat.
Maulana Fadhilah Khan
Al-Pasee, Tubagus Pasee, Wong Ageng Pasee, Fatahillah Al-Pasee putra Maulana
Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar sufi yang hidup dimasa kejayaan
Kerajaan Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah ibnu Sayyid Kamil
Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu Syeikh
Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di tanah Pasundan Jawa Barat, tepatnya
di Cirebon pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun. Beliau di makamkan
berdampingan dengan keluarga, sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan Maulana,
Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului beliau dua tahun di komplek
pemakaman Sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.
Sumber : Hilmy Bakar Almascaty
0 comments:
Post a Comment