Saturday, June 17, 2017

Fatahillah: Pangeran Pasai Pendiri Jakarta


Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee yang telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah Portugis pada bulan juni 1527. Setelah direbutnya kota itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota Kemenangan (al-Fath), yang sekarang dikenal dengan Jakarta ibukota negara Indonesia

Sementara penjajah Portugis mengenalnya dengan nama Falatehan. Pribadinya yang memikat, cerdas, alim dan pemberani telah menjadikannya sebagai tokoh legendaris di Asia Tenggara. 

Sampai-sampai orang Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada masa Sultan Mahmud Syah yang memerintah kesultanan Malaka pada tahun 1488-1511 yang menjabat sebagai Panglima Pengawal Selat Malaka.

            Maulana Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1471, itulah sebabnya beliau bergelar Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat sebagai Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai. Beliau lahir dari lingkungan kerabat istana Kerajaan Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah seorang Petinggi Pasai, Ulama dan Maulana yang terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan Ibrahim yang hidup pada masa pemerintahan Ratu Nahrishah (1424) sampai Sultan Mudzafar Syah (1497). 

Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini terkenal sebagai penterjemah kitab Durrul Manzum, karya Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan kepada Sultan Malaka Sultan Mansyur Syah dan meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah (wafat 1497) menerjemahkan kitab tersebut. Tugas ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai Makhdum Patakan Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah. Sementara Makhdum Patakan adalah cucu dari Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra.
            
Secara lengkap silsilah beliau adalah: Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah) bin Maulana Makhdum Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam Baraqat Syekh Maulana Ismail bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan seterusnya yang bersambung sampai dengan Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra, cucu Nabi Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah keluarga satu buyut dari Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

        Maulana Fadhilah hidup dan berkembang di penghujung masa kegemilangan Kerajaan Pasai dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan menjadi penaung bagi kerajaan-kerajaan Islam yang baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang menjadi rujukan utama kaum Muslimin dan sebagai pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem zawiyah yang kemudian di tanah Jawa di kenal dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah adalah anak seorang Maulana terkemuka Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim Patakan, maka wajarlah jika ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama kelak. Namun Sang Pangeran lebih cendrung tumbuh sebagai seorang panglima gagah perkasa.

      Setelah beranjak dewasa, Maulana Fadhilah hilir mudik berlayar dari  Pasai ke Malaka. Ketenaran ayahandanya di Malaka sebagai Ulama besar Pasai telah menempatkannya di dalam lingkungan istana Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran Pasai muda ini dengan gagah perkasa memperlihatkan kepiawaiannya sebagai pendekar ulung yang mampu menggerakan Jong (perahu layar) dan dengan lincah memburu setiap perompak yang mengacau di Selat Malaka. Maka tak mengherankan bila banyak para petinggi kerajaan, baik Pasai ataupun Malaka merasa hormat dan segan kepada Pangeran Pasai ini.

Pada usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6 diangkat menjadi Hulubalang Malaka oleh Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana Fadhilah Sang Pangeran Pasai ini mendapat gelar Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat Malaka. Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar pernah memberikan hadiah khusus kepada Hang Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-kapal dagang Cina dari perompak di selatan Selat Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai Laksamana Hang Tuah, Fadhilah berhenti tahun 1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali ke Pasai tanah kelahirannya. 

        Sekembalinya di Pasai, Sang Pangeran memperdalam pengetahuan keislaman kepada para Ulama, Maulana dan Auliya yang mendapat tempat terhormat di Kerajaan Pasai. Kecerdasan dan ketekunan yang didukung oleh garis keturunan (genetik unggul) telah mengantarkan Sang Pangeran sebagai seorang Maulana terkemuka di Pasai dengan kedudukan tinggi.

Disebutkan ketika pasukan gabungan Islam pimpinan Pati Unus (Adipati bin Yunus atau Maulana Abdul Qadir) menyerang Malaka pada tahun 1513 yang sudah dikuasai Portugis sejak 1511, Maulana Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang Panglima perang. Kegagalan mengalahkan Portugis pada ekspedisi Jihad I ini telah membulatkan tekad Sang Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat menguasai teknologi perang. Karena Portugis memiliki teknologi perang yang canggih sehingga gabungan angkatan Islam kalah.

Pasai tidak cukup baginya, dan atas dukungan Sultan dan para Ulama Pasai, sekitar tahun 1516 beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke Gujarat India, tempat asal usul moyangnya, Maulana Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang menjadi Petinggi Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau mendapat gelar sebagai Maulana Fadhilah Khan. Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju pusat-pusat ilmu Islam dan teknologi seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Samarkand dan Turki. Di Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan, terutama pembuatan meriam.

Sang Pangeran dalam perjalanan belajarnya, diriwayatkan pernah ikut berperang bersama pasukan Turki sebagai salah seorang Panglima untuk menduduki Konstantinopel. Setelah pasukannya berhasil menduduki Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul, nama beliau sangat terkenal. Beliau diundang pulang untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa. Maulana Fadhilah diundang para pemimpin Wali Songo yang masih paman-pamannya sendiri agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak dalam menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki tekhnologi pembuatan meriam.

Setelah 5 tahun belajar ke penjuru dunia, Maulana Fadhilah Khan pulang ke Pasai pada tahun 1521. Namun pada saat itu peperangan tengah berkecamuk yang dipicu oleh ambisi penjajah Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh di Pasai dan langsung ke Palembang-Bengkulu sebagai pusat baru perlawanan kaum muslimin di sebelah timur. Sementara di barat berpusat pada Kerajaan Aceh Darussalam yang baru diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun 1514. Selanjutnya Maulana Fadhilah melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat pamannya yang sudah menjadi Pemimpin Spiritual (Aulia) Kerajaan Islam Demak-Cirebon-Banten bernama Syarif Hidayatullah  atau Sunan Gunung Jati, sebagai mana yang diungkapkan dalam buku catatan pelayaran Achmad Ghulam Khaan yang ditulis tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis ulang oleh Musthafa Khaan, India 1973.

Kedatangan Maulana Fadhilah Khan Pangeran Pasai ke tanah Jawa disambut gembira oleh armada gabungan tentara Islam yang tengah mempersiapkan ekspedisi Jihad II untuk membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang dipimpin langsung oleh Sultan II Kerajaan Demak, Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin tertinggi spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah Khan Al-Pasee sebagai Wakil Panglima angkatan perang gabungan Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Palembang, Pasai, Malaka, Aceh dan lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak Jawa dengan kekuatan 375 kapal perang. Pada kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan dianugrahi gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan Banten dan Wong Ageng Pasai dari Kerajaan Demak.

Ternyata ekspedisi Jihad II mengalami kekalahan telak setelah berperang 3 hari 3 malam, Sultan Demak II Pati Unus bersama 2 putranya syahid di Malaka. Komando tertinggi diambil alih Maulana Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur kembali ke tanah Jawa. Kekalahan ini telah memberi pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai Fadhullah Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan. Beliau menetap di Kerajaan Cirebon-Banten bersama dengan sisa-sisa pasukan perangnya untuk mengatur kembali strategi mengalahkan Portugis. Beliau ditugaskan mertuanya Maulana Syarif Hidayatullah memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten dalam menghadapi Kerajaan Hindu Pakuan-Galuh-Pajajaran.

Kegagalan ekspedisi Jihad II di Malaka 1521 membuat kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk datang menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba jua setelah Kerajaan Hindu Galuh berkoalisi dengan penjajah Portugis. Bulan Juni 1527, Portugis yang telah merasa diatas angin mencoba menguasai pelabuhan Sunda Kelapa di wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan yang matang, gabungan armada Islam dibawah pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai langsung meluluhlantakkan penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan antek-anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam, Maulana Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi gelar baru Fatahillah, yang berarti Kemenangan Allah SWT. Kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut Jakarta sampai sekarang (22 Juni 1527).

Setelah kemenangan ini Maulana Fadhullah Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai atau Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Agung Kesultanan Cirebon-Banten yang kini tengah berusia mendekati 60 tahun. Kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang bergelar  Tubagus Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke diserahkan kepada putra beliau Pangeran Jayakarta yang kemudian pada 1619 karena kalah dalam konflik dengan VOC-Belanda, meninggalkan Jayakarta yang dibumihanguskan.

Akhir perjalanan panjang hidup Sang Pangeran Pasai yang gagah dan berani ini, sepanjang 40 tahun lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam sebagai da'i, pembimbing spiritual dan menjadi ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa Barat. Beliau sangat terkenal sebagai seorang Maulana yang menguasai ajaran-ajaran tasawwuf, namun beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif Hidayatullah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan Islam. Demikian pula bersama dengan Syarif Hidayatullah,  Maulana Fadhilah Khan Tubagus Pasai ikut andil menaklukkan Kerajaan Sunda-Pakuan di wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568, atau dua tahun sebelum beliau wafat.

Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee, Tubagus Pasee, Wong Ageng Pasee, Fatahillah Al-Pasee putra Maulana Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar sufi yang hidup dimasa kejayaan Kerajaan Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di tanah Pasundan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun. Beliau di makamkan berdampingan dengan keluarga, sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan Maulana, Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului beliau dua tahun di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.


Sumber : Hilmy              Bakar        Almascaty
  

0 comments:

Post a Comment