Kerajaan Islam Pasai yang
juga terkenal dengan Samodra Pasai adalah sebuah Kerajaan Islam di pesisir
utara pulau Sumatra. Bahkan menurut ahli sejarah, perkataan Sumatra sendiri
berasal dari perkataan Samodra, yang dalam loghat Arab berbunyi Samutra, dan ketika bangsa Eropa datang
menyebutnya dengan Sumatra. Sejak
itulah pulau besar ini disebut dengan Sumatra yang juga menjadi bagian dari
wilayah kekuasaan Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai.
Sementara asal kata
Pasai ada yang berpendapat berasal dari bahasa Aceh Pase (pasir) atau pohon Pase. Namun penelitian yang lebih
mendekati, bahwa Pasai berasal dari kata Parsi (Persia), yang dilogatkan dalam
bahasa masyarakat lokal Aceh sebagai Pasee. Hal ini berkaitan dengan banyaknya
orang-orang dari Persia yang bermukim menempati wilayah Pasai masa itu,
sehingga dinamakan dengan Pasee
sebagai kebiasaan orang dulu untuk menamakan kampung halamannyanya jika
menempati wilayah baru. Seperti di Kedah ada kampung Aceh, atau di beberapa
tempat terdapat nama kampung Melayu, kampung Bugis atau kampung Jawa.
Pendapat kata Pasai
berasal dari Parsia ini dikuatkan dengan beberapa bukti sejarah, seperti
hubungan erat Kerajaan Pasai dengan Persia masa itu. Demikian pula makam-makam
para Sultan Pasai sangat mirip dengan makam-makam di Persia, bahkan ditemukan
huruf Arab-Persia dan beberapa ukiran dan relief yang berbau Persia. Pada makam
Sultan Malik al-Saleh dan makam Sultanah Nahrishah sendiri ditemukan beberapa kalimat
dalam bahasa Persia dengan tulisan kaligrafi Arab-Persia. Demikian pula
silsilah para Sultan di Pasai, sebagaimana juga Sultan di Perlak menyambung
dengan Pangeran dari Persia bernama Syahriansyah Salman al-Parisi yang memiliki
anak Shahr Nuwi dan menjadi Sultan di Perlak, yang menjadi nenek moyang para
Sultan di Pasai. Dengan demikian tidak diragukan bahwa kata Pasai (Pasee)
berasal dari kata Persia.
Secara silsilah
kekeluargaan, tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Pasai adalah kelanjutan dari
Kerajaan Islam Perlak yang terlebih dahulu telah didirikan oleh Meurah Shahri
Nuwi putra Sharianshah Salman al-Farisi (Raja Islam Jeumpa tahun 770 M di
Bireuen). Dimana Kerajaan Perlak mulai
mengalami kejayaan sejak dipimpin oleh Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun
225 H atau 840 M. Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak dari garis Shahri
Nuwi, yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M) yang digelar
sebagai Meurah Silu mengembangkan sebuah kawasan perdagangan baru di antara
Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kekuatan
politik baru dengan berdirinya Kerajaan Islam Pasai. Perkembangan yang cepat
Kerajaan Pasai pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang
mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi.
Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang
menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia
menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai sebagaimana yang dinyatakan dalam Sejarah Melayu berdasarkan kepada
hikayat Raja-Raja Pasai yang diragukan kredibilitasnya. Realitas ini sungguh
bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik
al-Salih) menyambung kepada keturunan Ahlul
Bayt, diperkirakan menyambung dengan Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Fakta
ini diperkuat oleh peristiwa kedatangan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh
Sayyid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Ash-Shaqid bin Imam Muhammad Al-Baqir,
diterima baik oleh Shahir Nuwi di Perlak, bahkan anak Sayyid Muhammad bernama
Sayyid Ali dikawinkan dengan Saudara Shahr Nuwi bernama Makhdum Tansyuri yang
melahirkan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Adapun silsilah Sultan
Malik al-Saleh (Meurah Silu) adalah:
Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu) putra Meurah Makhdum Malik Ahmad
(Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Ahmad (Raja Samalanga) putra Meurah Makhdum
Malik Ibrahim (Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Isak-Gayo
II) putra Muerah Makhdum Malik Isak (Raja pertama Isak-Gayo) putra Sultan
Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah (Sultan Perlak VII) putra Sultan Makhdum
Alaiddin Muhammad Amin Syah (Sultan Perlak VI) putra Sultan Makhdum Alaiddin
Abdulkadir Syah (Sultan Perlak V) putra Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri
Perlak pada masa Sultan Perlak II, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdurrahman
Syah) putra Meurah Makhdum Bahrum (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan
Perlak I, Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) putra Meurah Shahri
Nuwi (pendiri Perlak) putra Sahriansyah Salman al-Parisi (Raja Islam pertama
Jeumpa) yang datang dari Persia. Menurut
ahli sejarah beliau adalah keturunan dari Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali,
cucu Nabi Muhammad saw yang dilahirkan di Persia dan menjadi Raja di Jeumpa
Bireuen.
Penelitian para ahli
sejarah Ahlul Bayt, seperti Tun
Suzanna dari Malaysia menyimpulkan bahwa ada 2 gelombang kedatangan keturunan
Nabi saw ke Nusantara. Yang pertama langsung dari Persia, umumnya keturunan
dari Imam Ja’far Shadiq yang telah menjadi petinggi di Kerajaan Persia dengan
menggunakan gelar Syah (Shah), dan di Aceh dikenal dengan Syahri seperti yang
digunakan oleh Pangeran Salman al-Parisi kepada anak-anaknya Shahri Nuwi,
Shahri Poli, Shahri Dito, Shahri Duli. Sementara keturunan Shahri Nuwi selanjutnya
menggunakan gelar Makhdum kepada keturunannya. Sementara gelombang kedua yang
datang dari Yaman atau Hadramaut dari keturunan Muhammad Isa al-Muhajir, sudah
menggunakan gelar Sayyid dengan tambahan dibelakang marga seperti Jamalullail,
Al-Habsyi, Al-Idrus dan lainnya.
Dengan demikian jelas
bahwa Sultan Makhdum Malik al-Salih adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para
Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi
Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih
begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai, kemudian memproklamirkannya sebagai
pusat Islamisasi Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak atau sebelumnya
Kerajaan Jeumpa.
Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang
menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari
negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan
Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah
terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Aceh
yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif
dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor
hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara
hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina,
yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong
hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari
seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan di
pelabuhan Pasai.
Di bawah kepemimpinan
Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta
berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat bukan hanya
sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat
Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai
teknologi. Dan terbukti masyarakatnya
tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian.
Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai
bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan
lain-lainnya.
0 comments:
Post a Comment