Sunday, June 25, 2017

Pasai Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah


Bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1250an M, pusat-pusat Khilafah Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan sekitarnya sedang mengalami masa-masa tersulit akibat penyerangan demi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan bar-bar Mongolia yang dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis dan haus darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina, maka pasukan bar-bar Mongolia Jenghis Khan menyerang pusat-pusat peradaban Islam yang tengah mengalami kelalaian akibat kemegahan yang mereka alami.

Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat Khilafah Islamiyah jatuh ke tangan tentara Mongol dan mengalami penghancuran demi penghancuran. Para ahli sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan Eufrat berubah menjadi hitam bercampur merah akibat darah kaum muslimin  dan tinta dari buku-buku yang mengandung peradaban Islam yang mengalir ke sungai tersebut. Sementara pasukan Mongol tidak berhenti sampai di Bagdad, namun terus menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya. Dan hampir semua dunia Islam Arab bertekuk lutut kepada kekejaman tentara bar-bar Mongol. Bahkan tentara bar-bar berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Barat di Roma, Yunani dan lainnya. Itulah sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk terbesar dengan wilayah jajahan 4 kali lebih besar dari jajahan yang dilakukan Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim.

            Keadaan ini telah mendorong hijrah besar-besaran kaum muslimin, baik para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke negeri muslim yang lebih aman dari pembantaian tentara Jenghis Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang memang sudah menjadi bagian penting dari jaringan Khilafah Islamiyah yang diwariskan turun temurun oleh Kerajaan Islam di Sumatra sejakan zaman Khalifah Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja Muslim di Sumatra, termasuk di Pasai adalah berasal dari negeri Arab dan Persia yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab, terutama yang memiliki garis keturunan dengan Bani Quraisy, baik keturunan Rasulullah (Ahlul Bayt), Bani Umayyah ataupun Abbasyiah.


Dengan datangnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke Pasai, maka secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah kekuatan baru di Pulau Sumatra. Kedatangan para Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam disekitarnya seperti Samarkand, Bukhara dan lainnya telah memberikan kedudukan baru kepada Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban Islam di kawasan alam Asia Tenggara, yang terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Borneo, Cilabes, Mindanao, Maluku sampai ke Australia dan Kepulauan Hawai.

            Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang didukung oleh kaum muslimin terbaik yang hijrah ke Pasai telah membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi pusat sentral kekuatan dunia Islam di sebelah timur, baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus sebagai pusat kebangkitan peradaban Islam, sebagai kelanjutan dan kesinambungan dari peradaban Islam yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam, Persia, Bagdad dan lainnya. Dan akhirnya, dengan kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai menjadi Pusat Khilafah Islamiyah yang menggantikan peranan Bagdad, terutama sebagai pusat pengembangan kekuatan politik, pertahanan, ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah mengkwatirkan Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit sehingga berniat untuk menyerang dan menaklukkan Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak kegemilangannya dengan sumber daya manusia unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah. Kegagalan Majapahit dalam menaklukkan Pasai inilah yang selanjutnya mendorong para pemimpin Kerajaan Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang semakin melemah.

            Pada tahap awal, menaklukkan Jawa-Majapahit bukanlah menjadi prioritas dari Kerajaan Islam Pasai yang kini telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di timur. Prioritas utama adalah menyelamatkan dunia Muslim Arab, khususnya Mekkah al-Mukarramah dari ancaman pasukan bar-bar Mongol yang haus darah. Sekaligus mengkonsolidasi kekuatan dunia Muslim dengan menggalang kerjasama dengan para pemimpin Islam, baik di dunia Arab, Persia sampai ke daratan Cina kecil. Berkat persatuan aliansi Kerajaan Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat kordinasi di Pasai, maka kekuatan Mongolpun dapat dijinakkan, sekaligus mengislamkan pemimpinnya, Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat itu, kekuatan Islam terbentang dari dunia Afrika, Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke Cina, dan tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di Asia Tenggara yang dikenal bangsa Arab dengan bilad Tahta Jawi atau Negeri Bawah Angin, yang akhirnya sisebut Jawi saja atau Jawa sekarang.


            Kebesaran dan kemegahan Kerajaan Islam Pasai, yang dikenal dengan Samudra Pasai, juga telah mempengaruhi nama dari pulau yang sekarang bernama Sumatra. Sebagaimana diterangkan terdahulu, Samudra, jika dibaca dengan lidah asing akan terdengar sebagai Samutra, yang akhirnya berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi sebutan bagi pulau besar sebelah barat, yang terbentang sepanjang Salahit atau Selat, yang sekarang dinamakan dengan Selat Malaka.

Letak georafi Kerajaan Pasai yang strategis, yang di dukung oleh alamnya yang subur, digerakkan oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang berhijrah pasca kejatuhan Bagdad serta dukungan kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai menjadi salah satu bintang kebangkitan Islam di timur. Kebesaran nama Pasai telah mendorong kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri Arab, Persia, India dan lainnya untuk membangun kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi.
            Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. 

Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.


Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Asia Tenggara.

Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa sampai Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai pusat pengajian tinggi Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. 

Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. 

Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat ”esoterik”  sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa.

Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur jauh, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.



Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Sembilan yang telah mengislamkan tanah Jawa dengan pendekatannya yang khas.

0 comments:

Post a Comment