Bersamaan
dengan kebangkitan Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1250an M, pusat-pusat
Khilafah Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan sekitarnya sedang
mengalami masa-masa tersulit akibat penyerangan demi penyerangan yang dilakukan
oleh pasukan bar-bar Mongolia yang dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis
dan haus darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina, maka pasukan bar-bar
Mongolia Jenghis Khan menyerang pusat-pusat peradaban Islam yang tengah
mengalami kelalaian akibat kemegahan yang mereka alami.
Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat Khilafah Islamiyah jatuh ke
tangan tentara Mongol dan mengalami penghancuran demi penghancuran. Para ahli
sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan Eufrat berubah menjadi hitam bercampur
merah akibat darah kaum muslimin dan
tinta dari buku-buku yang mengandung peradaban Islam yang mengalir ke sungai
tersebut. Sementara pasukan Mongol tidak berhenti sampai di Bagdad, namun terus
menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya. Dan hampir semua dunia Islam Arab
bertekuk lutut kepada kekejaman tentara bar-bar Mongol. Bahkan tentara bar-bar
berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Barat di Roma, Yunani dan lainnya.
Itulah sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk terbesar dengan wilayah
jajahan 4 kali lebih besar dari jajahan yang dilakukan Alexander The Great
(Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim.
Keadaan ini telah mendorong hijrah
besar-besaran kaum muslimin, baik para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan
dan lainnya ke negeri muslim yang lebih aman dari pembantaian tentara Jenghis
Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang
memang sudah menjadi bagian penting dari jaringan Khilafah Islamiyah yang
diwariskan turun temurun oleh Kerajaan Islam di Sumatra sejakan zaman Khalifah
Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja Muslim di Sumatra, termasuk di
Pasai adalah berasal dari negeri Arab dan Persia yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab,
terutama yang memiliki garis keturunan dengan Bani Quraisy, baik keturunan
Rasulullah (Ahlul Bayt), Bani Umayyah ataupun Abbasyiah.
Dengan datangnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke
Pasai, maka secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah kekuatan baru di Pulau
Sumatra. Kedatangan para Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam disekitarnya
seperti Samarkand, Bukhara dan lainnya telah memberikan kedudukan baru kepada
Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban Islam di kawasan alam Asia
Tenggara, yang terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Borneo, Cilabes,
Mindanao, Maluku sampai ke Australia dan Kepulauan Hawai.
Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh
yang didukung oleh kaum muslimin terbaik yang hijrah ke Pasai telah
membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi pusat sentral kekuatan dunia Islam di
sebelah timur, baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus sebagai pusat
kebangkitan peradaban Islam, sebagai kelanjutan dan kesinambungan dari
peradaban Islam yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam, Persia, Bagdad
dan lainnya. Dan akhirnya, dengan kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai menjadi Pusat Khilafah
Islamiyah yang menggantikan peranan Bagdad, terutama sebagai pusat pengembangan
kekuatan politik, pertahanan, ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah
mengkwatirkan Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit sehingga berniat untuk menyerang
dan menaklukkan Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak kegemilangannya dengan
sumber daya manusia unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah.
Kegagalan Majapahit dalam menaklukkan Pasai inilah yang selanjutnya mendorong
para pemimpin Kerajaan Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang semakin melemah.
Pada tahap awal, menaklukkan
Jawa-Majapahit bukanlah menjadi prioritas dari Kerajaan Islam Pasai yang kini
telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di timur. Prioritas utama adalah
menyelamatkan dunia Muslim Arab, khususnya Mekkah al-Mukarramah dari ancaman
pasukan bar-bar Mongol yang haus darah. Sekaligus mengkonsolidasi kekuatan
dunia Muslim dengan menggalang kerjasama dengan para pemimpin Islam, baik di
dunia Arab, Persia sampai ke daratan Cina kecil. Berkat persatuan aliansi
Kerajaan Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat kordinasi di Pasai,
maka kekuatan Mongolpun dapat dijinakkan, sekaligus mengislamkan pemimpinnya,
Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat itu, kekuatan Islam
terbentang dari dunia Afrika, Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke
Cina, dan tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di Asia Tenggara yang
dikenal bangsa Arab dengan bilad Tahta
Jawi atau Negeri Bawah Angin,
yang akhirnya sisebut Jawi saja atau
Jawa sekarang.
Kebesaran dan kemegahan Kerajaan
Islam Pasai, yang dikenal dengan Samudra Pasai, juga telah mempengaruhi nama
dari pulau yang sekarang bernama Sumatra. Sebagaimana diterangkan terdahulu,
Samudra, jika dibaca dengan lidah asing akan terdengar sebagai Samutra, yang
akhirnya berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi sebutan bagi pulau besar
sebelah barat, yang terbentang sepanjang Salahit
atau Selat, yang sekarang dinamakan dengan Selat Malaka.
Letak georafi
Kerajaan Pasai yang strategis, yang di dukung oleh alamnya yang subur,
digerakkan oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang berhijrah pasca kejatuhan
Bagdad serta dukungan kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai menjadi salah
satu bintang kebangkitan Islam di timur. Kebesaran nama Pasai telah mendorong
kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri Arab, Persia, India dan
lainnya untuk membangun kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi.
Sepeninggal Sultan Malik al-Salih,
Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan
beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para
pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara.
Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi
Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya
bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan
secara luas dengan Tiongkok dan India.
Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah
Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat
taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan
ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama.
Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga
menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa
dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan.
Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran
dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan
acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana
Kerajaan Pasai.
Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan
kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan
penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki
kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama
dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan
penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat
Islamisasi di Nusantara. Pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit
melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat
dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para
Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan
dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah
menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan
Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang
terkuat di Asia Tenggara.
Kemakmuran
dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya
sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke
tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa sampai
Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai pusat pengajian tinggi Islam di mana
berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah
agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang
dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara.
Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu
Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr
al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab
tersebut ditambah bab ketiga tentang af’al
Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut
ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan
upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan.
Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih
mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman
para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang
pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun
sudah mencapai pembahasan yang bersifat ”esoterik” sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa
jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah
mengutus Tun Bija Wangsa.
Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya
sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur jauh, tempat
berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan
tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya
Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat
rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal
ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di
Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli
hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment